Sebuah
gelas pun enggan diisi air yang butek, sekali saja diisi air butek,
tak terbayang bagaimana bekasnya, bakal susah dibersihkan. Yaa
seperti hal nya manusia, makan dan minum pun harus pilah-pilih,
dampaknya pun pasti lebih besar, maka dari itu manusia lebih spesial
dari gelas. Begitulah kalau kata Nenekku dulu, Nenekku itu orang
paling keras dalam mendidik. Walaupun begitu, ia orang yang mudah
menerima siapapun yang baru ia kenal, termasuk tukang-tukang yang
sering lewat depan rumah.
Kuingat dan kujalankan nasehat
Nenekku dengan baik sampai sekarang, aku pun semakin besar, sudah
berinjak remaja dengan hasrat para remaja pada umumnya, tiap hari
pikirannya main, jalan-jalan, apalagi kalau tentang perempuan,
hfftt.. paling males rasanya mikirin hal itu.
Uci,
begitu ku memanggilnya, Nama lengkap nya terdiri dari tiga kata. Suci
Utami, tapi kata ketiga nya aku lupa,hehe. Suci itu teman SD ku dulu
saat kelas satu, ia paling pintar kala itu, saat di kelas satu dan
kelas dua ia selalu dapat ranking 1, tak pernah bosan aku membuntut
dibelakangnya, layaknya bebek yang mengikuti Sang gembala,
menyedihkan bukan. Untung saja saat di kelas tiga ia pindah sekolah
ke kampung, bersama neneknya. Saat ia pindah aku pun tak pernah
merasa rindu atau kesepian, yaa namanya juga bocah ingusan, mana
ngerti hal gitu-gituan. Yang terpenting kalau Suci pindah aku dapat
ranking 1 terus sampai lulus, egois sekali bukan.
Sepuluh
tahun tahun tak terasa, seakan lupa namun teap saja memikirkan sosok
wanita yang cerdas dan lucu itu, wajahnya yang putih bersinar,
rambutnya yang dikuncir dua menjulang keatas, cantik dan imut kalau
ingat waktu dulu. Sekarang aku pun sudah lulus SMA, bangkit dari masa
masa kekanak kanakakkan, mempunyai tujuan hidup, dan berprinsip,
mungkin itu sedikit dari profil lengkapku. Yang kutau, ia pun pasti
sudah lulus SMA, ingin sekali rasanya melihat kembali sinar itu, ada
ada saja kau ini, ia kan di kampung, mungkin saja dia kuliah disana,
atau kerja disana, atau mungkin ia sudah punya kekasih, pikirku
melawan.
Pikiran
pun seakan terombang ambing mungkinkah ia kembali, khayalan pun
berkreasi dengan kekuatan magisnya, bagaimana bentuk wajahnya, rambut
nya, aahhh ini kah yang namanya rindu, sepuluh tahun menghilang,
tanpa pamit dan pergi tanpa tau kabar pulang. Apakah ia masih ingat
denganku, teman saingannya dulu, teman yang selalu mengaguminya,
teman yang tak pernah merindu namun tiba tiba merindu.
Mengejarnya
serasa menggapai bulan, seakan akan langit enggan menurunkan hujan,
menunggu hanyalah kalimat penenang, selalu dihiraukan dan seperti
mustahil. Memelukmu hanya membuat sesak, membendung tangis rindu pun
hanya sebagian rencana, selepas itu rasa kembali muncul, angan angan
berharap hanyalah semu, terbenam lalu hilang dan tak tau kapan akan
terbit.
***
Waktu
menunjukkan pukul sembilan pagi, hari itu cuaca cerah, langit pun
masih menunjukkan kelembutannya, matahari yang sedari muncul tetap
memberikan ilham nya bagi umat. “PING” dering handphone ku
berbunyi, “Mabro jadi ga, jemput gue ya”. Langsung kubalas
“Iyalah jadi, gue otw kerumah lo nih” Hari ini aku mau reuni
teman SD, aku yang merencanakan semuanya agar bisa ngumpul lagi,
kalau bukan aku, siapa lagi, aku kan ketua kelas nya. Hmm jadi ingat
waktu dulu saat mengatur kawan kawan agar bisa diam dan tidak ribut
dikelas. Walaupun begitu, dalam kondisi tertentu kawan kawanku tetap
mau menurut dan hormat kepadaku. Ya jelas, kalau membangkang tinggal
lapor wali kelas. Haha itu amunisi cadangan namanya.
Aku
pun bergegas kerumah Dwiki, rumahnya tidak jauh dari sekolah, namun
masih saja minta dijemput, kebetulan akulah yang punya kendaraan,
jadi aku deh yang selalu jadi tukang ojek. Saat dijalan aku tidak
sengaja bertemu Roy, ia juga teman SD ku, aku juga sudah mengajaknya
untuk ikut datang, untung saja ketemu dijalan. “Roy ayo ikut dulu,
kerumah Dwiki” sahut aku, “Oh yaudah ayo ayo”. Kami pun bertemu
Dwiki, dan langsung bergegas ke sekolah, kami cuma bertiga saat itu,
si Deni yang sudah kuajak dari semalam belum juga datang, padahal
rumahnya dekat sekali dengan sekolah, tapi yasudahlah paling ia
nyusul.
Kami
pun segera masuk kedalam, lamu kami temui satu persatu guru-guru kami
dahulu, lalu mengelilingi setiap sudut-sudut sekolah, mengeksprolasi
satu demi satu kenangan, memandangi sambil bernostalgia akan
keindahan masa manis itu, ruang kelas yang menjadi saksi akan bukti
kecerdasan kami, lapangan yang selalu menjadi ajang adu kekuatan
bermain bola, perpustakaan yang menjadi tempat kami membaca dan
bermain, serta kantin yang akan terus dan terus menjadi tempat yang
akan kami tuju setelah penat belajar.
“Eh
ada Bu Ipung tuh kita samperin yuk” kata ku, Bu Ipung masih seperti
dulu ya, kata ku dalam hati. Wajahnya yang lucu dengan gigi yang agak
menonjol akan terus menjadi identitasnya, kata ku lagi dalam hati.
Kami pun berbincang cukup lama, Bu Ipung pun menanyakan tentang kabar
kawan kami, sambil sesekali kami bertanya tentang kabar guru-guru
kami. Bu Ipung itu wali kelas kami saat di kelas satu, jadi tentu
pasti ia sudah kebal dengan macam macam watak murid di kelas satu,
mulai dari yang sering nangis, yang bandel, yang suka jailin
temennya, sampai yang sering ngompol dikelas pun pasti ada di kelas
satu. Untung aku tidak bercita cita jadi guru, tak terbayang kalau
nanti aku mengajar didepan murid-murid yang bandel dan usil itu,
begitu terlintas dalam benakku.
“Cuy
kita ke ruang kelas enam yuk, ketemu Bu Win” kata Dwiki. Kami pun
segera pamitan untuk menemui Bu Win. Kulihat ruangan itu sedang
khusyuk, ternyata masih belajar. “Katanya ada halal bi halal, kok
pada belajar sih?” sahut Dwiki. “Nanti jam sebelas baru mulai
halal bi halal nya ki” Kata ku. Kebetulan adikku sudah menginjak
kelas enam, dan wali kelas nya Bu Win, jadi kabar tentang sekolah
bisa kudapat mudah dengan bertanya pada adikku, melanjutkan tradisi
namanya. Kami pun bergegas untuk mencari hiburan dengan bermain bola
dengan anak kelas lima, kami mengulang saat itu lagi, menjadi tim
paling kuat diantara kelas lain, selalu menang dan tak pernah kalah,
setiap lawan pasti akan takluk melawan tim kami. Deni yang dipanggil
‘Daeng’ suka budek kalau dipanggil, ia ini menjadi penjaga
gawang, sangat bertalenta dalam menjaga pintu paling akhir tim kami.
Lalu Bagus, dipanggilnya ‘Maji’ karena nama Bapaknya Darmaji,
hahaha, postur tubuhnya yang besar, kulitnya yang hitam legam
menambah ciri khasnya, lawan pun pasti akan takut jikalau berhadapan
dengannya, ia adalah deffender paling kuat. Lalu Hadi, ia dipanggil
‘jawa’ karena ia pindahan dari jawa. Berikutnya si Dwiki,
dipanggil ‘yoyo’, striker dari tim kami, ia ini apik sekali dalam
menggiring bola. Lalu ada Adit, ia juga striker keturunan Ambon,
sangat kuat dan lincah.
Tak
terasa lelah melanda tubuhku, nostalgia ini rasanya belum lengkap
tanpa kehadiran kawanku semuanya, ingin rasanya kami semua berkumpul
kembali, menceritakan masa masa manis saat dulu, meresonasi secercah
gambaran kami yang telah hilang, dan menjadikannya panduan awal
kehidupan yang lebih baik nantinya. Akhirnya kami pun bertemu Bu Win,
ia menyapa kami dengan senyum manisnya, guratan diwajahnya
menimbulkan kesan betapa sabar dan ikhlasnya beliau dalam mendidik.
Beliau pun menyampaikan nasihat kepada kami agar selalu menjadi
pribadi yang baik, pribadi yang selalu patuh kepada orang tua, dan
jagan pernah putus asa dalam hal apapun, kata kata itu begitu berisi
akan makna. “Bu Win, tau alamatnya anak anak yang lain ga bu? Kaya
Sendy, Tuti, Widya ?” tanya ku. Bu Win pun memberitahu jika ingin
tau alamat teman teman bisa lihat di buku besar, kebetulan Bu Ipung
yang tau Buku Besar itu. Sebenarnya tujuanku hanya satu, kami bisa
berkumpul dengan lengkap dan semoga saja di buku besar itu kami bisa
dapat informasi kawan kawan.
Tiba
tiba Deni datang dengan rambut terlihat masih basah, “lama lo
datengnya den, kaya artis aja!” sahut Roy. Deni pun mengerutkan
dahi “baru mandi gue, sorry”. Memang si ‘daeng’ ini paling
lama datang kalo disuruh ngumpul. Bu Win pun berlalu karena acara
halal bi halal mau dimulai, sebenarnya halal bi halal ini hanya untuk
seluruh anak SD, kami hanya datang karena ingin ikutan saja sekaligus
main, hehe. Aku pun ingat kata kata bu Win tadi tentang buku besar
itu, langsung saja kami temui Bu Ipung untuk menanyai hal itu. “Bu
Ipung, kami boleh minta informasi di buku besar tidak bu tentang data
dan kontak teman tema kami?” sahut Dwiki. “Soalnya kita mau reuni
akbar bu, kalau terkumpul semua kan seru Bu” sahut Roy. “Hmm
sebentar coba Ibu cari dulu buku nya ya” sahut Bu Ipung. Semoga
dapat kontak anak anak nya deh, sahutku dalam hati. Bu Ipung pun
mencari buku besar itu, akhirnya ketemu, buku itu sangat otentik
dengan cover depan bertuliskan BUKU BESAR SDN RAWASARI 02, kami amati
dengan teliti setiap nama, lembaran demi lembaran terlihat jelas nama
dan foto para siswa, lucu dan imut-imut fotonya, kataku dalam hati.
“Wah ini Sendy nih, mukanya kocak banget haha” sahut Deni.
“Kocakan juga muka lo Den, nih lihat nih” sambil menunjukkan foto
wajah Deni, kami pun langsung tertawa dengan serentak. “Yah data
alamatnya pada ga ada lagi” sahut Dwiki. Semua data mulai dari
Sendi, Tuti, Widya, tidak ada informasi yang jelas di buku itu,
kebetulan hanya tiga nama itu yang belum kami punya kontakya, mereka
seakan menghilang ditelan bumi rasanya. Tiba tiba aku tak sengaja
melihat nama ‘Suci Utami’ di lembaran itu, sama seperti yang lain
datanya tidak lengkap, aku pun penasaran, “Bu, ini Suci yang lagi
itu pindah sekolah ya Bu ?” sahut aku. “Iya ini Suci, kemarin
saat hari pertama masuk sekolah Suci datang kesini ketemu Ibu, ia
datang bersama adiknya, kebetulan adiknya sekolah disini juga”
sahut Bu Ipung dengan lengkap. Aku semakin bertambah penasaran,
mungkinkah benar itu Suci yang selama ini kagumi yang seakan
terlupakan dalam benakku, dan tiba tiba saat tersebut namanya, seakan
pikiranku menyeruak mengingat tentangnya, tentang dia yang lucu,
tentangku yang mencari, dan tentang dia yang tiba tiba menghilang
tanpa senyum. “Terus Ibu punya nomor nya Bu?” sahut Dwiki. “Ibu
tanya mama nya coba ya, Ibu minta nomor kamu aja sini Ki, nanti Ibu
kirimin ke kamu nomornya” sahut Bu Ipung. Dwiki pun bertukar nomor
dengan Bu Ipung. Sial sekali, handphoneku sudah mati sedari tadi,
jadi Dwiki yang akan dapat nomor Suci lebih dahulu. Pintu terasa ada
yang mengetuk, ternyata itu Faisal, perawakannya yang Ambon-Padang
sangat identik dengannya, ia ini temanku yang dipanggil ‘kumis’
karena Bapaknya itu kumis nya tebal sekali, semalam dia juga sudah
kuajak untuk datang, ia bilang tak bisa ikut karena besok kerja,
ternyata ia kesiangan, bagus deh, berarti memang takdirnya untuk
datang, hahaha.
Sesekali
aku teringat tentang semua yang aku lalui sampai pada titik sekarang
ini, mulai dari aku dididik dengan penuh kasih oleh guru guru di SD,
dan menurutku masa paling indah hanyalah waktu SD, apapun yang kita
lakukan entah itu benar atau salah, pasti akan selalu dibela dan
dianggap benar, namun ada saatnya kami dimarahi, agar kami tau untuk
tidak mengulang kesalahan yang sama, karena sesungguhnya tanpa mereka
yang menegur dan memarahi, kami semua tidak akan pernah sampai di
titik ini.
Bu
Ipung pun lanjut menjelaskan informasi tentang Sendy, yang sudah
pindah rumah ke Utan Kayu, lalu Tuti, yang saat ini bersama Ibunya
berdagang Rumah makan Padang, lalu ada Widya, yang sekarang sudah
pindah di Pesantren di daerah Parung. Dan aku pun semakin mengingat
semua yang aku ingin ingat, seakan ingatanku ingin bertemu dengan
mereka semua, teman temanku yang paling gokil, kocak, lucu, aneh,
unik bahkan gila. Mulai dari Sumi, matanya yang agak sipit sebelah
kiri itu menunjukkan jelas ciri khasnya, dan sedari lulus SMP ia
pindah ke Karawang bersama Ibunya. Ada juga Alam yang biasa dipanggil
‘ikan’ agak aneh memang, ternyata karena Ibu jualan ikan, ingat
sekali saat Alam dan Untung saling main ‘kata-kataan’ sampai
akhirnya berkelahi kejar kejaran. Lalu ada Yana, ia ini perempuan
yang paling sering ‘diledekin’ karena bibirnya yang sumbing,
namun tetap berani melawan, jadi bisa kubilang Yana ini perempuan
perkasa. Ada juga Tomi, ia ini keturunan Arab, paling sering yang
namanya main game online sama si Untung, sekarang si Arab ini sudah
pindah ke Pangkal Pinang sedari SD. Ada juga Si Ucup, ingat sekali
saat Ucup jatuh ke selokan saat kami sedang perpisahan, wajahnya yang
flat saat menangis, tak pernah bisa kulupakan. Setelah itu ada Sendy, sering dipanggil tompel, ia ini temanku yang paling gokil banget, tompelnya yang seperti 'chococips' itu begitu manis dan lezat dipandang, aduh ada ada aja aku ini. Dan yang terakhir ada
Nabila dan Inez, mereka berdua ini, perempuan yang paling sering
digoda oleh temanku, tentu karena kecantikannya pastinya.
Dan
sekarang, pikirku hanya tertuju pada sosok wanita yang kutau sudah
balik ke Jakarta itu, bagaimana dengan rambut terkuncirnya, bagaimana
dengan sinar diwajahnya, bagaimana dengan kelembutan kata dan
senyumnya. Dan seakan diri ini dimabukkan oleh bubuk rindu yang tak
sengaja ditabur, sepuluh tahun tidak bertemu seakan membuatku lupa
akan semuanya, jika saja aku diberikan waktu kembali sesaat pada masa
itu, mungkin cerita ini akan lebih terurai dengan indah, menjadi
cerita paling manis yang kubuat akan dirinya, dan saat ini seperti
bergetar raga ketika angan seakan menusuk kedalam pikiran, semua itu
berkumul menjadi satu dengan rasa yang ingin segera terungkapkan.
Rabu,
10 Agustus 2016
Made
by, MAH.
0 komentar:
Posting Komentar