Jumat, 12 Agustus 2016

Aku Merindu ...



Sebuah gelas pun enggan diisi air yang butek, sekali saja diisi air butek, tak terbayang bagaimana bekasnya, bakal susah dibersihkan. Yaa seperti hal nya manusia, makan dan minum pun harus pilah-pilih, dampaknya pun pasti lebih besar, maka dari itu manusia lebih spesial dari gelas. Begitulah kalau kata Nenekku dulu, Nenekku itu orang paling keras dalam mendidik. Walaupun begitu, ia orang yang mudah menerima siapapun yang baru ia kenal, termasuk tukang-tukang yang sering lewat depan rumah.

Kuingat dan kujalankan nasehat Nenekku dengan baik sampai sekarang, aku pun semakin besar, sudah berinjak remaja dengan hasrat para remaja pada umumnya, tiap hari pikirannya main, jalan-jalan, apalagi kalau tentang perempuan, hfftt.. paling males rasanya mikirin hal itu.

Uci, begitu ku memanggilnya, Nama lengkap nya terdiri dari tiga kata. Suci Utami, tapi kata ketiga nya aku lupa,hehe. Suci itu teman SD ku dulu saat kelas satu, ia paling pintar kala itu, saat di kelas satu dan kelas dua ia selalu dapat ranking 1, tak pernah bosan aku membuntut dibelakangnya, layaknya bebek yang mengikuti Sang gembala, menyedihkan bukan. Untung saja saat di kelas tiga ia pindah sekolah ke kampung, bersama neneknya. Saat ia pindah aku pun tak pernah merasa rindu atau kesepian, yaa namanya juga bocah ingusan, mana ngerti hal gitu-gituan. Yang terpenting kalau Suci pindah aku dapat ranking 1 terus sampai lulus, egois sekali bukan.
Sepuluh tahun tahun tak terasa, seakan lupa namun teap saja memikirkan sosok wanita yang cerdas dan lucu itu, wajahnya yang putih bersinar, rambutnya yang dikuncir dua menjulang keatas, cantik dan imut kalau ingat waktu dulu. Sekarang aku pun sudah lulus SMA, bangkit dari masa masa kekanak kanakakkan, mempunyai tujuan hidup, dan berprinsip, mungkin itu sedikit dari profil lengkapku. Yang kutau, ia pun pasti sudah lulus SMA, ingin sekali rasanya melihat kembali sinar itu, ada ada saja kau ini, ia kan di kampung, mungkin saja dia kuliah disana, atau kerja disana, atau mungkin ia sudah punya kekasih, pikirku melawan.

Pikiran pun seakan terombang ambing mungkinkah ia kembali, khayalan pun berkreasi dengan kekuatan magisnya, bagaimana bentuk wajahnya, rambut nya, aahhh ini kah yang namanya rindu, sepuluh tahun menghilang, tanpa pamit dan pergi tanpa tau kabar pulang. Apakah ia masih ingat denganku, teman saingannya dulu, teman yang selalu mengaguminya, teman yang tak pernah merindu namun tiba tiba merindu.

Mengejarnya serasa menggapai bulan, seakan akan langit enggan menurunkan hujan, menunggu hanyalah kalimat penenang, selalu dihiraukan dan seperti mustahil. Memelukmu hanya membuat sesak, membendung tangis rindu pun hanya sebagian rencana, selepas itu rasa kembali muncul, angan angan berharap hanyalah semu, terbenam lalu hilang dan tak tau kapan akan terbit.

***
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, hari itu cuaca cerah, langit pun masih menunjukkan kelembutannya, matahari yang sedari muncul tetap memberikan ilham nya bagi umat. “PING” dering handphone ku berbunyi, “Mabro jadi ga, jemput gue ya”. Langsung kubalas “Iyalah jadi, gue otw kerumah lo nih” Hari ini aku mau reuni teman SD, aku yang merencanakan semuanya agar bisa ngumpul lagi, kalau bukan aku, siapa lagi, aku kan ketua kelas nya. Hmm jadi ingat waktu dulu saat mengatur kawan kawan agar bisa diam dan tidak ribut dikelas. Walaupun begitu, dalam kondisi tertentu kawan kawanku tetap mau menurut dan hormat kepadaku. Ya jelas, kalau membangkang tinggal lapor wali kelas. Haha itu amunisi cadangan namanya.

Aku pun bergegas kerumah Dwiki, rumahnya tidak jauh dari sekolah, namun masih saja minta dijemput, kebetulan akulah yang punya kendaraan, jadi aku deh yang selalu jadi tukang ojek. Saat dijalan aku tidak sengaja bertemu Roy, ia juga teman SD ku, aku juga sudah mengajaknya untuk ikut datang, untung saja ketemu dijalan. “Roy ayo ikut dulu, kerumah Dwiki” sahut aku, “Oh yaudah ayo ayo”. Kami pun bertemu Dwiki, dan langsung bergegas ke sekolah, kami cuma bertiga saat itu, si Deni yang sudah kuajak dari semalam belum juga datang, padahal rumahnya dekat sekali dengan sekolah, tapi yasudahlah paling ia nyusul.

Kami pun segera masuk kedalam, lamu kami temui satu persatu guru-guru kami dahulu, lalu mengelilingi setiap sudut-sudut sekolah, mengeksprolasi satu demi satu kenangan, memandangi sambil bernostalgia akan keindahan masa manis itu, ruang kelas yang menjadi saksi akan bukti kecerdasan kami, lapangan yang selalu menjadi ajang adu kekuatan bermain bola, perpustakaan yang menjadi tempat kami membaca dan bermain, serta kantin yang akan terus dan terus menjadi tempat yang akan kami tuju setelah penat belajar.

Eh ada Bu Ipung tuh kita samperin yuk” kata ku, Bu Ipung masih seperti dulu ya, kata ku dalam hati. Wajahnya yang lucu dengan gigi yang agak menonjol akan terus menjadi identitasnya, kata ku lagi dalam hati. Kami pun berbincang cukup lama, Bu Ipung pun menanyakan tentang kabar kawan kami, sambil sesekali kami bertanya tentang kabar guru-guru kami. Bu Ipung itu wali kelas kami saat di kelas satu, jadi tentu pasti ia sudah kebal dengan macam macam watak murid di kelas satu, mulai dari yang sering nangis, yang bandel, yang suka jailin temennya, sampai yang sering ngompol dikelas pun pasti ada di kelas satu. Untung aku tidak bercita cita jadi guru, tak terbayang kalau nanti aku mengajar didepan murid-murid yang bandel dan usil itu, begitu terlintas dalam benakku.

Cuy kita ke ruang kelas enam yuk, ketemu Bu Win” kata Dwiki. Kami pun segera pamitan untuk menemui Bu Win. Kulihat ruangan itu sedang khusyuk, ternyata masih belajar. “Katanya ada halal bi halal, kok pada belajar sih?” sahut Dwiki. “Nanti jam sebelas baru mulai halal bi halal nya ki” Kata ku. Kebetulan adikku sudah menginjak kelas enam, dan wali kelas nya Bu Win, jadi kabar tentang sekolah bisa kudapat mudah dengan bertanya pada adikku, melanjutkan tradisi namanya. Kami pun bergegas untuk mencari hiburan dengan bermain bola dengan anak kelas lima, kami mengulang saat itu lagi, menjadi tim paling kuat diantara kelas lain, selalu menang dan tak pernah kalah, setiap lawan pasti akan takluk melawan tim kami. Deni yang dipanggil ‘Daeng’ suka budek kalau dipanggil, ia ini menjadi penjaga gawang, sangat bertalenta dalam menjaga pintu paling akhir tim kami. Lalu Bagus, dipanggilnya ‘Maji’ karena nama Bapaknya Darmaji, hahaha, postur tubuhnya yang besar, kulitnya yang hitam legam menambah ciri khasnya, lawan pun pasti akan takut jikalau berhadapan dengannya, ia adalah deffender paling kuat. Lalu Hadi, ia dipanggil ‘jawa’ karena ia pindahan dari jawa. Berikutnya si Dwiki, dipanggil ‘yoyo’, striker dari tim kami, ia ini apik sekali dalam menggiring bola. Lalu ada Adit, ia juga striker keturunan Ambon, sangat kuat dan lincah.

Tak terasa lelah melanda tubuhku, nostalgia ini rasanya belum lengkap tanpa kehadiran kawanku semuanya, ingin rasanya kami semua berkumpul kembali, menceritakan masa masa manis saat dulu, meresonasi secercah gambaran kami yang telah hilang, dan menjadikannya panduan awal kehidupan yang lebih baik nantinya. Akhirnya kami pun bertemu Bu Win, ia menyapa kami dengan senyum manisnya, guratan diwajahnya menimbulkan kesan betapa sabar dan ikhlasnya beliau dalam mendidik. Beliau pun menyampaikan nasihat kepada kami agar selalu menjadi pribadi yang baik, pribadi yang selalu patuh kepada orang tua, dan jagan pernah putus asa dalam hal apapun, kata kata itu begitu berisi akan makna. “Bu Win, tau alamatnya anak anak yang lain ga bu? Kaya Sendy, Tuti, Widya ?” tanya ku. Bu Win pun memberitahu jika ingin tau alamat teman teman bisa lihat di buku besar, kebetulan Bu Ipung yang tau Buku Besar itu. Sebenarnya tujuanku hanya satu, kami bisa berkumpul dengan lengkap dan semoga saja di buku besar itu kami bisa dapat informasi kawan kawan.

Tiba tiba Deni datang dengan rambut terlihat masih basah, “lama lo datengnya den, kaya artis aja!” sahut Roy. Deni pun mengerutkan dahi “baru mandi gue, sorry”. Memang si ‘daeng’ ini paling lama datang kalo disuruh ngumpul. Bu Win pun berlalu karena acara halal bi halal mau dimulai, sebenarnya halal bi halal ini hanya untuk seluruh anak SD, kami hanya datang karena ingin ikutan saja sekaligus main, hehe. Aku pun ingat kata kata bu Win tadi tentang buku besar itu, langsung saja kami temui Bu Ipung untuk menanyai hal itu. “Bu Ipung, kami boleh minta informasi di buku besar tidak bu tentang data dan kontak teman tema kami?” sahut Dwiki. “Soalnya kita mau reuni akbar bu, kalau terkumpul semua kan seru Bu” sahut Roy. “Hmm sebentar coba Ibu cari dulu buku nya ya” sahut Bu Ipung. Semoga dapat kontak anak anak nya deh, sahutku dalam hati. Bu Ipung pun mencari buku besar itu, akhirnya ketemu, buku itu sangat otentik dengan cover depan bertuliskan BUKU BESAR SDN RAWASARI 02, kami amati dengan teliti setiap nama, lembaran demi lembaran terlihat jelas nama dan foto para siswa, lucu dan imut-imut fotonya, kataku dalam hati. “Wah ini Sendy nih, mukanya kocak banget haha” sahut Deni. “Kocakan juga muka lo Den, nih lihat nih” sambil menunjukkan foto wajah Deni, kami pun langsung tertawa dengan serentak. “Yah data alamatnya pada ga ada lagi” sahut Dwiki. Semua data mulai dari Sendi, Tuti, Widya, tidak ada informasi yang jelas di buku itu, kebetulan hanya tiga nama itu yang belum kami punya kontakya, mereka seakan menghilang ditelan bumi rasanya. Tiba tiba aku tak sengaja melihat nama ‘Suci Utami’ di lembaran itu, sama seperti yang lain datanya tidak lengkap, aku pun penasaran, “Bu, ini Suci yang lagi itu pindah sekolah ya Bu ?” sahut aku. “Iya ini Suci, kemarin saat hari pertama masuk sekolah Suci datang kesini ketemu Ibu, ia datang bersama adiknya, kebetulan adiknya sekolah disini juga” sahut Bu Ipung dengan lengkap. Aku semakin bertambah penasaran, mungkinkah benar itu Suci yang selama ini kagumi yang seakan terlupakan dalam benakku, dan tiba tiba saat tersebut namanya, seakan pikiranku menyeruak mengingat tentangnya, tentang dia yang lucu, tentangku yang mencari, dan tentang dia yang tiba tiba menghilang tanpa senyum. “Terus Ibu punya nomor nya Bu?” sahut Dwiki. “Ibu tanya mama nya coba ya, Ibu minta nomor kamu aja sini Ki, nanti Ibu kirimin ke kamu nomornya” sahut Bu Ipung. Dwiki pun bertukar nomor dengan Bu Ipung. Sial sekali, handphoneku sudah mati sedari tadi, jadi Dwiki yang akan dapat nomor Suci lebih dahulu. Pintu terasa ada yang mengetuk, ternyata itu Faisal, perawakannya yang Ambon-Padang sangat identik dengannya, ia ini temanku yang dipanggil ‘kumis’ karena Bapaknya itu kumis nya tebal sekali, semalam dia juga sudah kuajak untuk datang, ia bilang tak bisa ikut karena besok kerja, ternyata ia kesiangan, bagus deh, berarti memang takdirnya untuk datang, hahaha.

Sesekali aku teringat tentang semua yang aku lalui sampai pada titik sekarang ini, mulai dari aku dididik dengan penuh kasih oleh guru guru di SD, dan menurutku masa paling indah hanyalah waktu SD, apapun yang kita lakukan entah itu benar atau salah, pasti akan selalu dibela dan dianggap benar, namun ada saatnya kami dimarahi, agar kami tau untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, karena sesungguhnya tanpa mereka yang menegur dan memarahi, kami semua tidak akan pernah sampai di titik ini.

Bu Ipung pun lanjut menjelaskan informasi tentang Sendy, yang sudah pindah rumah ke Utan Kayu, lalu Tuti, yang saat ini bersama Ibunya berdagang Rumah makan Padang, lalu ada Widya, yang sekarang sudah pindah di Pesantren di daerah Parung. Dan aku pun semakin mengingat semua yang aku ingin ingat, seakan ingatanku ingin bertemu dengan mereka semua, teman temanku yang paling gokil, kocak, lucu, aneh, unik bahkan gila. Mulai dari Sumi, matanya yang agak sipit sebelah kiri itu menunjukkan jelas ciri khasnya, dan sedari lulus SMP ia pindah ke Karawang bersama Ibunya. Ada juga Alam yang biasa dipanggil ‘ikan’ agak aneh memang, ternyata karena Ibu jualan ikan, ingat sekali saat Alam dan Untung saling main ‘kata-kataan’ sampai akhirnya berkelahi kejar kejaran. Lalu ada Yana, ia ini perempuan yang paling sering ‘diledekin’ karena bibirnya yang sumbing, namun tetap berani melawan, jadi bisa kubilang Yana ini perempuan perkasa. Ada juga Tomi, ia ini keturunan Arab, paling sering yang namanya main game online sama si Untung, sekarang si Arab ini sudah pindah ke Pangkal Pinang sedari SD. Ada juga Si Ucup, ingat sekali saat Ucup jatuh ke selokan saat kami sedang perpisahan, wajahnya yang flat saat menangis, tak pernah bisa kulupakan. Setelah itu ada Sendy, sering dipanggil tompel, ia ini temanku yang paling gokil banget, tompelnya yang seperti 'chococips' itu begitu manis dan lezat dipandang, aduh ada ada aja aku ini. Dan yang terakhir ada Nabila dan Inez, mereka berdua ini, perempuan yang paling sering digoda oleh temanku, tentu karena kecantikannya pastinya.

Dan sekarang, pikirku hanya tertuju pada sosok wanita yang kutau sudah balik ke Jakarta itu, bagaimana dengan rambut terkuncirnya, bagaimana dengan sinar diwajahnya, bagaimana dengan kelembutan kata dan senyumnya. Dan seakan diri ini dimabukkan oleh bubuk rindu yang tak sengaja ditabur, sepuluh tahun tidak bertemu seakan membuatku lupa akan semuanya, jika saja aku diberikan waktu kembali sesaat pada masa itu, mungkin cerita ini akan lebih terurai dengan indah, menjadi cerita paling manis yang kubuat akan dirinya, dan saat ini seperti bergetar raga ketika angan seakan menusuk kedalam pikiran, semua itu berkumul menjadi satu dengan rasa yang ingin segera terungkapkan.

Rabu, 10 Agustus 2016

Made by, MAH.



Jumat, 05 Agustus 2016

Buruh Layaknya Lebah





Hidup diantara rindang pohon sangatlah indah, tersembunyi dari ramai pun tetap bahagia, menjadi teladan namun tidak tau ujungnya, layaknya burung yang terbang bebas kemana saja. Namun tetap saja gemuruh perusuh selalu datang mendulang ketakutan.

Seperti itulah hidup seekor lebah, menjadi budak namun tetap saja setia, kalau balik ke zaman koloni dulu, mungkin lebah akan dipekerjakan oleh kompeni, diberi sedikit pun sudah ikhlas mungkin. Namun, siapa tau ia akan berteriak pada waktunya, meronta akan keadilan, menjerit sekuatnya dengan penuh tangisan.

Kalau saja lebah mempunyai senjata layaknya bambu runcing, dengan ukuran yang lebih besar tentunya, sudah pasti kompeni itu ia lawan, menyerang layaknya prajurit yang melindungi Ratu nya mati matian, bahkan lebih dari itu harga diri bangsa pun akan ia tempa sebesar apapun itu.

Berlandaskan semangat di dada, lebah pencari madu terbang ke pelosok jagat, berjalan tanpa tau arah kemana, namun yang kutau ia pergi mencari madu, bukan harta maupun jabatan seperti kompeni itu. Beriringan bersama dengan kuatnya tali persaudaraan, ditemani gemericik hujan, digerai badai bahkan ditempa maut pun pasti ia akan tuju.

Andaikan saja lebah tau, jikalau hidupnya selama ini dimanfaatkan kompeni itu, dibodohi, dilucuti, dienyahkan setiap hari. Bertuan pada Ratu namun dibohongi, itu hanyalah topeng dibalik kekejaman kompeni itu.

Betapa bodohnya lebah-lebah itu, lelah bersua tak dihirau, mengeluh pun tak pernah didengar, ingin rasanya aku berdemo, bersuara dengan lantang membela kehidupan mereka. Lalu kusambangi Komnas HAM, kuyakin ini adalah tempat untuk mereka yang ingin mendapat pengakuan hidup, dengan membawa bukti sekuat-kuatnya, kubuka lembaran demi lembaran kekejaman kompeni yang tak punya hati itu, ku bersaksi membawa nama para lebah, kusuarakan kepada mereka, bahwa tanpa lebah, kalian para kompeni tak dapat hidup, kalian akan mati, bahkan lebih dari itu semua yang ada di jagat ini pun akan mati!

Lelah pun tak berujung, keringat adalah bukti dari kerasnya hidup mereka, Dan mungkinkah ini sudah ketentuanNya ? dipaksa untuk menghamba pada mereka yang tidak pernah menghamba ...


Jumat, 05 Agustus 2016


Made by. MAH.