Rabu, 05 November 2014

Antara Ttitik Terang dan Titik Jenuh


Hamparan biru membentang luas, pasir putih bertebar bak pecahan kaca, pohon bergelimang sepanjang garis horizontal, laksana pagar hijau nan indah. selimut hitam kebiruan menandakan waktu untuk bergegas.

Sedari fajar Kami telah berkutat dengan waktu, bersiap menuju hamparan biru untuk mencari sebuah emas, semua orang sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Kulihat Ayah sedang menjahit jaring yang robek karena sudah lama dipakai, tak terbayang berapa emas yang sudah terjerat oleh jaring itu.

“van.. ivan..” suara ibu dari dapur.

“iya ada apa bu..” sambil bergegas menuju dapur
“bawakan kopi dan cemilan ini untuk Ayahmu” kata Ibu
“siap bu..” sambil bercanda
Sangat beruntung aku memiliki Ayah, ia mengajarkan tentang apa yang belum ku ketahui tentang ilmu menjerat emas. Tak ayal, semua orang di daerahku sudah pasti pandai dalam hal itu, setiap keturunan diajarkan bagaimana menjerat emas sebagai mata pencaharian utama.
***
Aku pun bersiap mengarungi samudera bersama Ayah, bermodalkan sebuah perahu yang ia buat sewaktu muda, barangkali umurnnya tak kurang dari 30 tahun, pikirku saat itu. Perahu itu dibuat dengan kayu jati yang kuat, sanggup menahan gempuran ombak, tak gentar melihat badai, merah menderang warna tubuhnya, bertuliskan penaklut laut disisi badan.
Jam telah terpojok tepat diangka 5, waktunya kami meluncur, mengadu nasib di hamparan biru yang luas, untuk sekedar membawa pulang sekarung emas.
***
Hanya hamparan biru yang terpandang, tak terlihat sedikit pun kehidupan, angin yang melunglai merasuk ke setiap tulang. Kami mengikuti arus  yang seakan membawa kita ke tempat tujuan, yang membawa semua yang ada diatas untuk ikut bersamanya.
Kami pun telah sampai di tempat tujuan merauk emas. terlihat air begitu tenang, ini adalah tempat yang ideal untuk menangkap ikan, sahut Ayahku. Ia kemudian melempar jaringnya ke dasar laut, berharap ada ikan yang mau datang menginap disitu.




“Sial...” dengan nada kesal
Jaringnya jebol saat diangkat, ikan langsung berhamburan kembali ke dasar laut, seakan dia tak dibutuhkan lagi.

Ayah kesal dengan kejadian tadi, jaring keberuntungannya itu telah jebol karena tak tahan menahan bobot ikan.

“Lalu apa yang harus kita lakukan Ayah?”

“Tak tau..” menundukkan kepala..
“Sudahlah.. kita masih punya harapan, kenapa tidak kita jahit lagi jaringnya?” berharap Ayah setuju dengan sarannya.
***
Ia pun memilih cara lain, tidak selaras dengan apa yang ku katakan. Ia malah mengambil pancingan yang terbuat dari kayu dengan benang yang hampir kusut untuk memancing dari tepi perahu, dengan harapan ada sedikit emas untuk ia makan saat itu.
***

Aku jahit dengan teliti dengan penuh kesabaran, ku sulam tali demi tali dengan penuh kehati-hatian, agar tidak jebol lagi nantinya, sebagian sisi nya telah robek tidak beraturan.

Aku yakin masih ada harapan saat itu, sangat mengecewakan bila nanti pulang tidak membawa apa-apa, Apa kata Ibu saat dirumah, pasti dia akan marah dan kesal melihat kita hanya membawa keringat. tak bisa dibayangkan jika itu terjadi..
***
Harapan yang ditunggu pun datang seiring selesainya aku menjahit, jaring ini telah siap dilempar ke lautan, semoga saja tidak jebol lagi.. dalam hatiku.
Jaring telah kulempar ke dasar laut, kutunggu beberapa saat hingga jaring itu terisi, antara titik terang dan titik jenuh dalam pikiran ku, apakah sebuah emas atau sebuah batu, semuanya menjadi satu berkecamuk dalam harapan pada benda itu.
Kulihat Ayah memperhatikanku dengan pandangan nyeleneh, mungkin dalam pikirannya aku seperti orang bodoh yang menunggu kekasih turun dari kereta, sedangkan dia tidak tau kereta datangnya darimana. perbandingan antara itu sangatlah tipis, tidak mungkin engkau menunggu tetapi tidak tau menunggu dimana.
***



Tak lama kemudian, pikirku merasa bahwa ini saat yang tepat dan waktu yang tepat untuk mengakhiri semua tanda tanya ini.

Alangkah senangnya aku saat itu, semua harapan telah terwujud terhentak menjadi satu menuju titik terang, waktu seakan menjadi milikku saat itu, emas melimpah terangkat, bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan, harapan yang ditunggu telah datang.


Tak kira, air begitu tenang menghinoptis dari kedalaman, tak sadar dibuat olehnya, terseret dalam aliran tak berjejak, semua pandangan seakan menghilang, menjauh dari kenyataan. Kami  kembali menuju asal dengan rasa harap cemas, akankah kita kembali tanpa mengetahui arah...




Made by, MAH.