Hamparan biru
membentang luas, pasir putih bertebar bak pecahan kaca, pohon bergelimang
sepanjang garis horizontal, laksana pagar hijau nan indah. selimut hitam kebiruan
menandakan waktu untuk bergegas.
Sedari fajar Kami telah berkutat dengan waktu, bersiap menuju hamparan biru
untuk mencari sebuah emas, semua orang sibuk dengan kepentingannya
masing-masing.
Kulihat Ayah sedang
menjahit jaring yang robek karena sudah lama dipakai, tak terbayang berapa emas
yang sudah terjerat oleh jaring itu.
“van.. ivan..” suara
ibu dari dapur.
“iya ada apa bu..” sambil bergegas menuju dapur
“bawakan kopi dan cemilan ini untuk Ayahmu” kata Ibu
“siap bu..” sambil bercanda
Sangat beruntung aku
memiliki Ayah, ia mengajarkan tentang apa yang belum ku ketahui tentang ilmu
menjerat emas. Tak ayal, semua orang di daerahku sudah pasti pandai dalam hal
itu, setiap keturunan diajarkan bagaimana menjerat emas sebagai mata
pencaharian utama.
***
Aku pun bersiap
mengarungi samudera bersama Ayah, bermodalkan sebuah perahu yang ia buat
sewaktu muda, barangkali umurnnya tak kurang dari 30 tahun, pikirku saat itu. Perahu
itu dibuat dengan kayu jati yang kuat, sanggup menahan gempuran ombak, tak
gentar melihat badai, merah menderang warna tubuhnya, bertuliskan penaklut laut disisi badan.
Jam telah terpojok
tepat diangka 5, waktunya kami meluncur, mengadu nasib di hamparan biru yang
luas, untuk sekedar membawa pulang sekarung emas.
***
Hanya hamparan biru
yang terpandang, tak terlihat sedikit pun kehidupan, angin yang melunglai
merasuk ke setiap tulang. Kami mengikuti arus
yang seakan membawa kita ke tempat tujuan, yang membawa semua yang ada diatas
untuk ikut bersamanya.
Kami pun telah sampai
di tempat tujuan merauk emas. terlihat air begitu tenang, ini adalah tempat
yang ideal untuk menangkap ikan, sahut Ayahku. Ia kemudian melempar jaringnya
ke dasar laut, berharap ada ikan yang mau datang menginap disitu.
“Sial...” dengan nada
kesal
Jaringnya jebol saat
diangkat, ikan langsung berhamburan kembali ke dasar laut, seakan dia tak
dibutuhkan lagi.
Ayah kesal dengan
kejadian tadi, jaring keberuntungannya itu telah jebol karena tak tahan menahan
bobot ikan.
“Lalu apa yang harus
kita lakukan Ayah?”
“Tak tau..” menundukkan kepala..
“Sudahlah.. kita masih punya harapan, kenapa tidak kita jahit lagi jaringnya?”
berharap Ayah setuju dengan sarannya.
***
Ia pun memilih cara
lain, tidak selaras dengan apa yang ku katakan. Ia malah mengambil pancingan
yang terbuat dari kayu dengan benang yang hampir kusut untuk memancing dari
tepi perahu, dengan harapan ada sedikit emas untuk ia makan saat itu.
***
Aku jahit dengan teliti
dengan penuh kesabaran, ku sulam tali demi tali dengan penuh kehati-hatian, agar
tidak jebol lagi nantinya, sebagian sisi nya telah robek tidak beraturan.
Aku yakin masih ada harapan saat itu, sangat mengecewakan bila nanti pulang
tidak membawa apa-apa, Apa kata Ibu saat dirumah, pasti dia akan marah dan
kesal melihat kita hanya membawa keringat. tak bisa dibayangkan jika itu
terjadi..
***
Harapan yang ditunggu
pun datang seiring selesainya aku menjahit, jaring ini telah siap dilempar ke
lautan, semoga saja tidak jebol lagi.. dalam hatiku.
Jaring telah kulempar
ke dasar laut, kutunggu beberapa saat hingga jaring itu terisi, antara titik
terang dan titik jenuh dalam pikiran ku, apakah sebuah emas atau sebuah batu,
semuanya menjadi satu berkecamuk dalam harapan pada benda itu.
Kulihat Ayah
memperhatikanku dengan pandangan nyeleneh,
mungkin dalam pikirannya aku seperti orang bodoh yang menunggu kekasih turun
dari kereta, sedangkan dia tidak tau kereta datangnya darimana. perbandingan
antara itu sangatlah tipis, tidak mungkin engkau menunggu tetapi tidak tau menunggu
dimana.
***
Tak lama kemudian,
pikirku merasa bahwa ini saat yang tepat dan waktu yang tepat untuk mengakhiri
semua tanda tanya ini.
Alangkah senangnya aku
saat itu, semua harapan telah terwujud terhentak menjadi satu menuju titik
terang, waktu seakan menjadi milikku saat itu, emas melimpah terangkat, bagaikan
mimpi yang menjadi kenyataan, harapan yang ditunggu telah datang.
Tak kira, air begitu
tenang menghinoptis dari kedalaman, tak sadar dibuat olehnya, terseret dalam
aliran tak berjejak, semua pandangan seakan menghilang, menjauh dari kenyataan.
Kami kembali menuju asal dengan rasa
harap cemas, akankah kita kembali tanpa mengetahui arah...
Made by, MAH.